Oleh Manshur Zikri | Pada Kamis, 29 Juli 2010
* * *
One river, one plan, one management. Berdasarkan hasil penelusuran informasi yang saya cari di dunia maya, tiga seruan di atas adalah merupakan konsep yang mendasari kerja dari Rekonvasi Bhumi dalam mengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) Cidanau, salah satu DAS terpenting di Provinsi Banten.
DAS Cidanau merupakan sebuah konsep yang memadukan kepentingan dan membangun hubungan hulu hilir dengan mekanisme transaksi jasa lingkungan untuk membangun keseimbangan sosial, ekologi, dan ekonomi di masyarakat, yang kemudian mengantarkan lembaga ini ke kesuksesan dan berhasil menuai prestasi dalam mengembangkan integrated management. Pengelolaan DAS Cidanau di daerah Rawa Danau tersebut adalah salah satu program milik Rekonvasi Bhumi yang masih berjalan hingga sekarang.
Rekonvasi Bhumi adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang terletak di Jalan R.H. Joenus Soemantri, No 4/20, RT 1, RW 1, Kelurahan Tembong, Kecamatan Cipocok Jaya, Kota Serang, Provinsi Banten. Saat ini saya sedang mengikuti kegiatan workshop akumassa yang diadakan oleh Forum Lenteng di Kota Serang. Oleh karena itu, sudah beberapa hari ini hingga satu bulan ke depan, saya akan menjalani hari-hari di kantor Rekonvasi Bhumi, mulai dari tidur, mandi, makan, hingga mengerjakan kewajiban-kewajiban saya sebagai peserta workshop akumassa Serang.
Di mata saya, Rekonvasi Bhumi adalah sebuah organisasi yang memiliki tujuan dan cita-cita yang mulia dalam mewujudkan tatanan sosial masyarakat Banten yang lebih baik. Lembaga ini memposisikan diri sebagai kekuatan penyeimbang dan organisasi yang kritis dalam memandang persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat, terutama masyarakat Kota Serang dan kemudian melakukan langkah konkrit untuk menemukan solusi dari persoalan-persoalan tersebut. Selain itu, Rekonvasi Bhumi memiliki prinsip dan cita-cita yang sama dengan Forum Lenteng, karena keduanya sama-sama punya perhatian khusus tentang pentingnya lingkungan hidup. Jadi, bisa dibilang Rekonvasi Bhumi dan Forum Lenteng itu jodoh.
Rekonvasi Bhumi dibentuk pada tahun 1998 oleh empat orang Dewan Pendiri, yaitu Ade Prayasta Rahadian, Agus Setiawan, Asum Kurniawan, dan np. Rahadian, yang bergerak di bidang lingkungan hidup. Np. Rahadian saat ini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Rekonvasi Bhumi.
“Rekonvasi itu didirikan (dideklarasikan) pada 13 Desember 1998 oleh empat orang,” terang Bapak np. Rahadian, yang saya panggil dengan sebutan Pak Nana. “Awalnya dulu kita punya kegiatan yang dibiayai oleh lembaga lain, yaitu salah satu LSM di Bandung yang membiayai kita, untuk kegiatan pengenalan keanekaragaman hayati di Bandung, Serang, Pandeglang, Cilegon, dan sekitarnya. Tapi kemudian ketika program itu berhasil, kita coba lanjutkan untuk melakukan pengarahan yang lebih jauh, bukan sekadar program pengenalan keanekaragaman hayati di Banten, mereka (LSM yang dimaksud) keberatan. Oleh karena itu akhrinya kami membentuk lembaga sendiri. Awalnya, kita semua pengangguran, nggak ada pekerjaan, karena ada krisis ekonomi saat itu. Jadi sebenarnya hanya iseng. Kemudian sejalan dengan waktu, kita bertemu dengan banyak orang yang memberikan arahan dan bimbingan sehingga kita menemukan fokus di bidang lingkungan, dengan nama Komunitas Rekonvasi Bhumi.”
Seperti yang kita ketahui, persoalan lingkungan hidup bukan hanya persoalan menanam pohon, persoalan air bersih, atau sampah. Akan tetapi di dalamnya juga terdapat banyak persoalan, seperti sosial kemasyarakatan. Semua itu memiliki hubungan erat yang saling kait mengait dan perlu mendapat perhatian dari kita semua. Hal itu menjadi kajian dari LSM Rekonvasi Bhumi dalam menata kehidupan masyarakat Provinsi Banten, khususnya, dan Indonesia, umumnya. Dan menurut Pak Andi, Ketua Divisi Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan Rekonvasi Bhumi, mencerdaskan kehidupan masyarakat adalah salah satu cara yang paling utama untuk mencari solusi dalam menyelesaikan permasalahan, khususnya lingkungan, yang ada dalam masyarakat itu sendiri.
“Yang menjadi fokus utama kita adalah bagaimana meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang lingkungan. Jadi bukan dengan paksaan, tetapi dengan memberikan pemahaman kepada mereka, betapa pentingnya lingkungan hidup itu bagi kehidupan kita semua, bagaimana mereka dapat mengelola lingkungan itu secara mandiri sehingga yang menjadi ‘polisi’, yang akan menjaga lingkungan itu, adalah masyarakatnya sendiri,” jelas Pak Andi.
Saya pernah mendengar dan membaca tentang permasalah Daerah Aliran Sungai yang terletak di Rawa Danau. Katanya, masyarakat yang ada di Hilir, daerah Cilegon, sangat bergantung dengan air dari DAS Cidanau. Namu begitu, mereka harus berbagi air dengan Krakatau Tirta Industri yang harus mengalirkan air ke daerah Merak untuk kepentingan industrinya. Akan tetapi isu itu masih sedikit saya pertanyakan keakuratannya, sehingga saya pribadi tidak mengetahui secara detil tentang bagaimana permasalahan sebenarnya, yang sedang terjadi. Namun, setelah kini Rekonvasi Bhumi menjadi ‘tempat tidur’ saya selama mengikuti workshop akumassa Serang, akhirnya saya bisa membuktikannya sendiri dengan ngobrol bersama Pak Nana dan Pak Andi.
Seperti yang diterangkan oleh Pak Nana, “Rekonvasi Bhumi itu kegitannya hampir keseluruhan berada di aspek lingkungan, mulai dari hutan, urban, dan juga terumbu karang. Untuk hutan, kita punya konsep hubungan hulu hilir dengan mekanisme transaksi jasa lingkungan (Environment Services Payment). Mekanisme ini adalah salah satu upaya untuk membangun keseimbangan ekologi, sosial, ekonomi dalam satu kesatuan Daerah Aliran Sungai. Nah, kita punya site di Cidanau, di mana konsep itu dianggap paling maju di Indonesia, namanya Environment Services Payment. Jadi ada banyak forum-forum DAS di Indonesia yang datang kepada kita. Terakhir sekali, ada forum DAS dari Sumatera Utara. Sebelumnya ada dari Padang, Brantas, dan Papua. Kemudian yang berkaitan dengan urban, kita coba membantu Pemerintah untuk menangani persoalan orang-orang yang tinggal di atas lahan yang bukan milik mereka, seperti di Bantaran Kali, atau di mana pun. Jadi kita mencoba menempatkan mereka di tempat yang lebih baik, yang lebih legal, yang lebih sehat, dan ini kita bekerjasama dengan World Bank. Nah, kemudian ada tanaman mangroove, ada padang lamun, kita bekerja sama dengan PT Apexindo. Mereka menjadi funding kita, dalam upaya mengelola mangroove, memberdayakan padang lamun sebagai buffer, dan perluasan kawasan padang lamun itu, Banten. Yang terkahir, kita mengadakan kerjasama dengan beberapa lembaga untuk melakukan rehabilitasi terumbu karang.”
Ketika saya berbincang dengan Pak Andi, ia sempat memberikan sedikit penjelasan tentang konsep One River, One Plan, One Management yang menjadi dasar dalam pengelolaan DAS Cidanau, salah satu program yang masih dilakukan oleh LSM Rekonvasi Bhumi hingga sekarang.
“Yang kita lakukan di danau itu dengan One River, One Plan, One Management itu, kita melakukan penyelamatan secara bersama-sama, multi-stackholder. Jadi, awalnya kita buat forum, namanya Forum DAS Cidanau. Forum itu terdiri dari beberapa stake holder, yaitu Pemerintah, masyarakat, swasta atau industri, dan LSM. Kita buat sistem itu, namanya Environment Services Payment ‘Pembayaran Jasa Lingkungan’. Masyarakat di Hillir yang merasakan manfaat dari DAS Cidanau membuat suatu mekanisme pembayaran jasa lingkungan, mereka membayar ke masyarakat di Hulu. Kalau selama ini kita melihat masalah itu simpel banget, tapi ternyata tidak sesederhana itu. Karena antara Hulu dan Hilir, itu beda wilayah geografis, beda wilayah pemerintahan, otomatis beda kebijakan. Pada saat yang di Hilir mengharapkan kondisi yang sustainable, keberlanjutan air yang terjamin, masyarakat di Hulu malah memiliki pemahaman yang kurang: menebang pohon dan sebagainya. Oleh karena itu dilakukan suatu sistem pembayaran jasa lingkungan, jadi apa yang dirasakan oleh mereka (masyarakat Hilir) itu, mereka harus membayar ke masyarakat di Hulu. Ini memerlukan suatu sistem yang ternyata cukup rumit kalau tidak dibuat suatu forum, karena masyarakat Hilir (Cilegon) sendiri memiliki perbedaan aturan dan Undang-Undang dengan masyarakat di Hulu (Kabupaten Serang). Forum ini lah yang kemudian mensinergiskan perbedaan itu,” jelas Pak Andi.
Sementara itu, ketika melakukan wawancara dengan Pak Nana, saya sempat bertanya kepadanya tentang strategi-strategi politik yang dilakukan oleh Rekonvasi Bhumi.
Seperti halnya pepatah, “semakin tinggi pohon semakin tinggi terpaan anginnya”, begitu juga yang terjadi pada Rekonvasi Bhumi. Salah satu masalah yang dihadapi adalah persoalan volunteer. Rekonvasi Bhumi masih sulit menemukan volunteer yang memiliki konsep kuat dan motivasi kuat untuk terlibat dalam berbagai kegiatan pelestarian lingkungan. Di sisi lain, LSM yang bisa dikatakan sebagai pusat kegiatan di masyarakat, tidak selalu bisa memberikan insentif yang cukup memadai. Untuk itu, menurut Pak Nana strategi yang dilakukan adalah dengan melakukan lobi kepada Pemerintah, berbagai upaya pengembangan pengetahuan, yaitu banyak di volunteer-volunteer Rekonvasi Bhumi yang open pemerintah. Dan itu sangat efektif, terbukti dengan beberapa program yang berhasil. Rekonvasi Bhumi mencoba membangun itu hampir dalam kurun waktu satu tahun lebih di tahun 2004. Namun yang paling penting, Rekonvasi Bhumi tidak mengganggu mereka dalam negosiasi. Dalam arti, kalau yang ingin disampaikan adalah sebuah persoalan, ya, yang disampaikan adalah memang persoalan, tidak ada bargaining yang dibangun untuk kepentingan uang. Karena Rekonvasi Bhumi tidak pernah meminta uang kepada siapa pun. Oleh karena itu Rekonvasi Bhumi memiliki posisi yang kuat, sebagai salah satu modal untuk tetap didengar dan dihargai oleh Pemerintah maupun masyarakat.
“Jadi, kita tidak tergantung kepada lembaga-lembaga tertentu untuk masalah pendanaan, melainkan kita mencoba mencari dana sendiri secara swadaya. Lalu mengadakan kerjasama dengan berbagai lembaga yang juga mempunyai cita-cita dan tujuan yang sama dengan Rekonvasi Bhumi,” jelas Pak Nana.
Oleh karena itu kerjasama dengan Forum Lenteng, akumassa, bisa dikatakan sebagai salah satu perwujudan strategi dari Rekonvasi Bhumi. Menurut Pak Nana, lembaga ini besar karena cara kerja berjejaringan, seperti jaringan yang kini dibangun dengan Forum Lenteng.
“Cara kerja seperti ini lah yang dapat membuat kita selalu bisa berbuat sesuatu. Jaringan-jaringan seperti itu lah yang menyebabkan lembaga ini dikenal dan mendapatkan banyak dukungan dalam banyak hal yang berkaitan dengan kegiatan kita,” jelasnya.
Hal yang sama disampaikan pula oleh Pak Andi tentang strategi apa yang dilakukan oleh Divisi Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan Rekonvasi Bhumi dalam menghadapi masyarakat yang umumnya kurang memiliki pengetahuan tentang pentingnya lingkungan hidup.
“Kita banyak melakukan kegiatan, yang pastinya langsung turun ke lapangan, mencari apa yang sebetulnya menjadi masalah. Misalnya, masyarakat menebang pohon, Pemerintah akan mengeluarkan larangan ‘dilarang menebang pohon’. Akan tetapi oleh Rekonvasi Bhumi, yang diberikan adalah pemahaman: kalau pohon ditebang akan mengakibatkan sesuatu yang buruk, kalau dirawat akan mendapatkan keuntungan. Di Divisi Pendidikan, khususnya, berusaha sebisa mungkin menjadikan itu sebagai media komunikasi, contohnya Fesbuk Banten News (FBn). FBn itu kita jadikan sebagai salah satu alat saluran kita kepada masyarakat untuk memberikan pemahaman yang lebih. Tapi ini, kan, jalannya panjang, jadi kita berusaha membuat media ini menjadi media yang dicintai oleh mereka (masyarakat). Jadi tidak hanya terfokus pada satu tema, karena kalau hanya lingkungan, orang tidak tertarik. Makanya kita buat media ini, saat ini, lebih general, dan secara perlahan akan kita masukkan pengetahuan tentang lingkungan hidup. Bagaimana mereka dapat ikut serta atau berperan dalam penyelamatan lingkungan, di mulai dari rumah mereka sendiri.”
Salah stau program khusus yang sengaja dirancang untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat adalah Green School. Yaitu program di mana Rekonvasi Bhumi turun langsung ke sekolah-sekolah, yang sampai saat ini masih tingkat SMA, bekerjasama dengan Pemerintah. Tujuannya untuk memberikan pemahaman kepada anak-anak (remaja) tentang upaya-upaya penyelamatan lingkungan, yang bisa mereka lakukan, dimulai dari lingkungan sekitar mereka sendiri.
Pak Andi menjelaskan bahwa program akumassa Forum Lenteng bersama Komunitas Sebumi dan Rekonvasi Bhumi bisa saling berkaitan dan mendukung satu sama lain, karena Forum Lenteng memiliki media audio visual serta website sebagai saluran untuk dapat lebih dekat kepada masyarakat secara efektif dan menggugah.
“Kita butuh peralatan, kita butuh SDM yang dapat menguasai media itu. Bukan berarti kita memaksa anak-anak yang ikut akumassa ini nantinya menjadi kru Rekonvasi Bhumi. Akan tetapi, paling tidak selama mereka di sini, ada ‘virus’ yang tertular ke mereka, semangat-semangat untuk mencintai lingkungan itu dikolaborasi dengan peralatan yang sudah mereka punya, wawasan yang sudah mereka punya, serta mindset yang mereka punya setelah mengikuti workshop akumassa ini. Karena kita tidak lantas menjadi bangga bahwa kita telah mendirikan Rekonvasi Bhumi. Justru tujuan utama, tujuan akhir kita adalah bagaimana akan tumbuh semangat yang ada di Rekonvasi Bhumi, ‘virus-virus’ itu menyebar ke luar. Jadi kita sebetulnya berharap akan berdiri ‘Rekonvasi-rekonvasi Bhumi’ yang lain, ada insan-insan lingkungan yang lain. Kebanggaan kita ada di situ, kita tidak sendirian, kepuasan kita ada pada saat di mana upaya penyelamatan lingkungan ini menyebar ke masyarakat yang luas,” jelas Pak Andi.
Selain itu, saya teringat kata-kata Pak Nana saat memberikan materi kuliah tentang Lingkungan Hidup dan Rekonvasi Bhumi. Dalam kuliah itu ada banyak inti sari yang harus dicatat bagi kami peserta workshop akumassa, salah satunya adalah makna keterkaitan antara media dengan lingkungan hidup. Pak Nana mengatakan bahwa dengan media, kita dapat mengubah attitude masyarakat menjadi lebih baik, menjadi lebih sadar dengan lingkungan sekitar. Dengan karya, kita bisa memberikan sugesti atau menumbuhkan semangat di dalam diri setiap individu-individu yang ada di masyarakat untuk tidak mengulangi perbuatan yang merusak lingkungan, bahkan bisa mendorong mereka untuk berbuat sesuatu yang baik untuk lingkungan. Media mempunyai kekuatan untuk melakukan semua itu. Karenanya, workshop akumassa menjadi penting untuk dipelajari sehingga dapat mengembangkan potensi masyarakat dalam memahami media, yang akhrinya dapat membantu segala langkah yang diambil dalam menyelesaikan persoalan lingkungan.
Bagi saya dan teman-teman yang lain, umumnya mahasiswa, masih terasa segar gejolak semangat idealisme mahasiswa sebagai agen perubahan. Romantisme keadaan yang terkadang tidak dibarengi dengan dasar ilmu pengetahuan yang cukup, bisa menjadi bumerang bagi kami, yang nantinya menjerumuskan kita semua kepada suatu langkah yang salah. Hal itu bisa dilihat dengan terjadinya beberapa aksi kekerasan dan keonaran yang dilakukan oleh para mahasiswa pada saat demonstrasi (meskipun tidak semua demonstrasi seperti itu).
“Untuk apa kita harus turun ke jalan? Sebenarnya masih banyak jalan alternatif yang lebih baik dalam menyampaikan pendapat atau kritik kepada pemerintah. Salah satunya adalah dengan membuat karya audio visual yang sedang kalian pelajari di workshop akumassa ini,” kata Pak Nana kepada kami peserta workshop, ketika pihak Rekonvasi Bhumi memberikan materi.
“Atau paling tidak, setelah kegiatan selama sebulan ini berakhir, di dalam diri kalian semua timbul akan suatu kesadaran untuk berbuat, apa saja, yang tujuannya hanya untuk kepentingan masyarakat dan lingkungan hidup yang ada di sekitar kita, apakah itu bakti sosial, menerbitkan tulisan, mengadakan pelatihan kepada warga penduduk lokal, mendirikan LSM, dan sebagainya. Itu baru idealisme sejati seorang mahasiswa,” jelas Pak Nana pada kami para partisipan.
Dan menurut saya, apa yang sedang dijalankan oleh Forum Lenteng Jakarta dan LSM Rekonvasi Bhumi saat ini adalah perwujudan dari idealisme yang seharusnya didambakan oleh kami, mahasiswa.
http://akumassa.org/program/serang-banten/rekonvasi-bhumi/
skip to main |
skip to sidebar
0 komentar:
Posting Komentar